Mengapa Saya--Imam Surya Budi--Tidak Pernah Bosan Mengajar


Mengapa Saya Tidak Pernah Bosan Mengajar

Sejak kecil, saya tumbuh tanpa kehadiran penuh seorang bapak. Orang tua saya bercerai ketika usia saya masih sangat muda. Pertemuan pertama saya dengan bapak baru terjadi pada usia--kirakira--tiga tahun. Setelah itu, ketika saya duduk di bangku SD, kami hanya bertemu sesekali—biasanya di masa liburan.

Perjumpaan yang jarang itu tidak cukup untuk membangun kedekatan. Namun ada kesan yang tersimpan. Saat saya mulai remaja—di bangku SMK hingga kuliah—saya baru lebih banyak berinteraksi dengannya. Dari situ saya mengamati sesuatu: cara berpikirnya yang logis, kecenderungan melatih, dan sikap membimbing yang muncul alami. Walaupun saya tidak dibesarkan olehnya, saya merasakan ada garis halus yang tetap menghubungkan kami. Seolah-olah sifat itu hidup dalam diri saya tanpa pernah diminta.

Sementara itu, keseharian saya sejak kecil sepenuhnya ditempa oleh ibu. Beliau seorang juru penerangan di Departemen Penerangan. Dari ibu saya belajar satu hal yang tak pernah hilang: bagaimana sebuah pesan harus disampaikan dengan terang. Bukan sekadar bicara, melainkan membuat orang lain mengerti. Dalam keterbatasan seorang ibu tunggal, beliau tetap menjaga satu hal: bahwa ilmu tidak boleh berhenti di dirinya sendiri, ia harus terus berjalan, menyalakan pemahaman di banyak orang.

Dari bapak yang baru saya kenal lebih dekat ketika remaja, saya membawa gen melatih dan kecerdasan logis.
Dari ibu yang membersamai sejak kecil, saya menyerap ruh penerangan dan kecerdasan emosional.
Dan dari diri saya sendiri, saya menumbuhkan konsistensi yang membuat keduanya berpadu.


Mengajar Itu Nafas Saya

Saya bukan orang yang gemar keramaian. Saya introvert, lebih banyak diam dalam lingkaran besar. Tetapi ada paradoks dalam diri saya: begitu ada satu orang saja yang sungguh-sungguh mau mendengar, api dalam diri saya langsung menyala.

Mengajar bagi saya bukan pekerjaan. Ia adalah cara saya bernapas.
Ia adalah ruang sunyi yang justru menghidupkan jiwa saya.

Setiap kali saya melatih orang lain, saya merasa sedang meneruskan estafet: dari bapak yang sempat saya amati, dari ibu yang setiap hari menjadi teladan, dan dari pengalaman hidup saya sendiri.

Itulah sebabnya saya tidak pernah bosan.


Bukti yang Nyata

Satu hal yang bisa menjadi bukti paling jelas: hampir setiap tahun ada karyawan baru yang saya latih dari nol.

Ada tahun-tahun tertentu jumlahnya lebih dari satu, ada pula tahun ketika lebih tenang. Tetapi pola besarnya tetap sama: regenerasi selalu terjadi. Hampir tiap tahun ada wajah baru yang datang, belajar, dan tumbuh bersama.

Sebagian bertahan lama, sebagian lain keluar setelah merasa cukup lalu membuka usaha sendiri. Bagi saya, itu bukan kerugian. Justru menjadi bukti bahwa proses melatih benar-benar membuahkan hasil.

Dan setiap kali ada karyawan baru, saya kembali menemukan energi untuk memulai dari awal: memperkenalkan dasar, membimbing dengan sabar, lalu menyaksikan mereka bertumbuh.

Bagi sebagian orang, siklus itu mungkin melelahkan. Tetapi bagi saya, ia seperti pohon yang hampir setiap tahun berbuah. Setiap musim ada saja tunas baru. Dan dari situlah energi saya selalu diperbarui.


Saya Adalah Estafet Itu

Kini saya sadar: diri saya hanyalah kelanjutan dari sebuah estafet panjang.

  • Dari bapak: saya mewarisi kecerdasan logis, naluri melatih.

  • Dari ibu: saya mewarisi kecerdasan emosional, seni menerangkan.

  • Dari diri saya: saya membangun konsistensi, agar dua warisan itu tidak berhenti begitu saja.

Karena itu, bagi saya, mengajar bukan sekadar profesi. Ia adalah identitas.
Dan selama hampir setiap tahun ada wajah baru yang ingin belajar, saya percaya saya tidak akan pernah bosan.

Selama api kecil itu bisa saya teruskan, hidup saya akan selalu menemukan maknanya.

Comments

Popular posts from this blog

Link Terkait